My fourth step...
Kenapa empat, karena saat ketiga kalinya saya ke tempat ini adalah bersama 3 orang saudara Caldera dengan menggunakan motor. Hanya sekitar 2 jam untuk makan dan niat mengambil foto survival food di Situ Lembang. Dan akhirnya hanya tersisa memori makan siang mie bersama angsa di tepi danau itu.
Qq (Rizky A.) dan Ian (Ramadhian F.) |
Menapaki tanah situ lembang untuk keempat kalinya bersama dua orang sahabat fotografer. Saya berperan sebagai "guide" untuk salah seorang sahabat yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya yaitu memotret titik-titik kawasan tertentu yang membentuk formasi Bandung Purba, dimana salah satu titik kawasannya adalah Situ Lembang. Hari itu tanggal 22 Desember 2007, kulihat lewat properties file foto-foto.
Perjalanan diawali dengan cuaca yang cukup mendung sejak berkumpul di terminal Ledeng. Terbesit pikiran iseng untuk membeli kembang api di toko seberang terminal, tapi ternyata melihat harganya yang cukup menguras saku, akhirnya niat itu terurungkan begitu saja dan kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Parongpong dengan angkutan desa. Setibanya di kawasan Vila Istana Bunga Parongpong, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga Situ Lembang yang jaraknya mungkin sekitar 5 Km atau lebih. Setidaknya untuk mencapai Situ Lembang dari Parongpong memakan waktu lebih dari 2 jam, dengan rute yang agak menanjak, melewati kebun penduduk dan jalan raya yang panjang dan berkelak-kelok. Di tengah jalan, cuaca yang mulai tidak bersahabat mengguyur jalan kebun yang kami lewati ditambah dengan kabut yang sesekali turun membawa hawa dingin.
Kami tiba di tepi Situ Lembang dalam keadaan basah kuyup dan menjelang maghrib, lebih tepatnya saat maghrib. Untunglah saaat tiba hujan dan kabut sudah reda, sehingga saat malam tiba, bayangan bulan yang terang terlihat sangat indah di permukaan air Situ Lembang.
Setelah memasang fly sheet di samping mushola, kami mengganti pakaian, makan secukupnya dan akhirnya menghangatkan diri dibalik sleeping bag masing-masing dengan beratapkan langit.
Esok paginya, secangkir coklat panas dan mie rebus menemani cerahnya bayangan dinding Sunda Purba terefleksikan di permukaan air danau yang tenang. Sementara angsa penghuni tetap danau itu damai berenang, mengambang seolah tak terusik oleh manusia dan binatang lainnya. Setelah membereskan peralatan dan mendokumentasikan sekitar camp, kami memutar danau memasuki hutan primer untuk menuju titik tertinggi dimana Situ Lembang bisa terlihat jelas dari atas. Salah seorang sahabat saya hanya menunggu di bawah bersama barang-barang camp, sementara saya menemani sahabat yang hendak memotret.
Hanya berbekal 2 botol air minum dan tentunya kamera, di sebuah puncakan Sunda Purba terlihat jelas pemandangan Situ Lembang. Sayangnya salah satu botol yang dibawa sahabat saya terjatuh di tengah perjalanan.
Perjalanan turun dari puncakan itu diwarnai hujan agak deras sehingga kami sempat tersasar. Untungnya saya teringat bahwa di sisi kiri turun kami seharusnya terlihat Situ Lembang, sedangkan saat itu hanya terlihat punggungan lain dari Sunda Purba. Yakin bahwa jalan setapak yang seharusnya kami tuju terlewat, akhirnya terpaksa kami berbalik arah dan menanjak. Ketika mulai reda, saya sadari pula bahwa di tepian jalan yang menanjak itu terdapat banyak tumbuhan kantung semar. Seperti "charger" yang membuat "batere" saya semangat, dengan waktu yang sempit, saya ambil beberapa jepret foto tumbuhan yang selalu membuat saya tertarik dan penasaran.Saat menemukan kembali titik kami tersasar, botol minum yang terjatuh kami temukan kembali sambil kami beristirahat.
Setelah selesai memotret, kami bergegas menemui sahabat kami yang menunggu dan segera bersiap untuk pulang. Di sebuah gerbang berpapan nama komando kedua sahabat saya berfoto, walaupun ternyata cuaca mulai tidak bersahabat kembali agak gerimis.
Cukup puas membawa sahabat saya ke tempat itu, menunjukkan hal baru dan bertualang bersama. Saat pulang kami kembali menyusuri jalan raya sempit yang berkelok-kelok dalam rintik hujan. Walaupun perut terasa lapar dan tubuh lelah, tapi kami harus mengejar sore agar tidak larut malam.
Saya, tas selendang dan carier petuangan saya di tepi Situ Lembang. (dok : Rizky A.) |